Estimasi Emisi Karbon dan Prediksi Subsiden: Laporan PLGPS
Postingan ini diperbarui 24 September 2021
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Satu dari sekian banyak yang menjadi topik utama pada keadaaan bumi yang semakin rusak saat ini adalah gas rumah kaca. Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi ini, salah satunya disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan terutama hutan dengan lahan gambut.
Hal ini sesuai dengan isu yang berkembang, bahwa konversi lahan gambut meningkatkan emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan konversi lahan nongambut. Lahan gambut jika dikelola dengan benar dapat meningkatkan kemampuannya dalam menyimpan karbon. Lahan gambut memiliki potensi serapan karbon yang cukup besar yaitu 200 tC/ha (Agus, 2007).
Namun, apabila hutan gambut dikonversi menjadi bentuk penggunaan lain atau mengalami gangguan akan berubah menjadi sumber emisi karbon yang cukup potensial. Saat ini, sejumlah besar lahan gambut tropika mengalami degradasi akibat pembalakan, konversi dan kebakaran (Anshari dan Armiyarsih, 2005).
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki luas lahan gambut terbesar di dunia dengan luas 14,9 juta ha tentu memberi pengaruh yang sangat besar dalam mitigasi perubahan iklim dunia. Hingga akhirnya Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri tanpa bantuan dari pihak luar. (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015).
Kecepatan emisi karbondioksida (CO2) di lahan gambut yang terdegradasi & didrainase pada umumnya tidak tertandingi dengan penyerapan (sequestration) CO2 ke dalam jaringan tumbuhan dan/atau tanaman. Dengan demikian konservasi hutan dan lahan gambut merupakan opsi terpenting dalam mengurangi laju peningkatan emisi dari lahan gambut.
Selama lahan gambut direklamasi dan didrainase, maka proses emisinya akan terus berlanjut. Untuk ke dalam drainase antara 30 cm sampai 120 cm emisi meningkat sebanyak 0,91t CO2 /ha.th untuk penambahan 1 cm kedalaman drainase. Penting untuk mengetahui perbandingan variasi kedalaman gambut dengan nilai emisi yang akan diperoleh sehingga mudah untuk mengetahui faktor emisi/faktor serapan yang memerlukan kegiatan inventarisasi secara tepat dengan terlebih dahulu memahami tipologi gambut pada daerah berkanal atau dengan drainase tersebut.
Pemanfaatan tanah gambut mempunyai kendala dari gambut itu sendiri (inherent) dan akibat reklamasi tanah sehingga terjadi perubahan sifat fisik, kimia, dan biologis gambut (Radjagukguk, 2000). Untuk mengatasinya dilakukan dengan cara reklamasi, diantaranya membuat saluran drainase yang berfungsi untuk membuang kelebihan air, mengendalikan tinggi permukaan air, atau konservasi air (Wosten dan Ritzema, 2001). Namun, sistem drainase yang kurang tepat dapat menimbulkan permasalahan serius, diantaranya subsiden.
Gambut secara fisik lembek dan memiliki kemampuan menahan beban yang rendah (Kurnain, 2012). Drainase lahan gambut akan mengalami subsiden dan potensial mengalami kering tidak dapat balik (irreversible driying). Subsiden adalah proses penurunan permukaan gambut setelah direklamasi atau didrainase, karena pertukaran suasana gambut yang anaerob ke aerob.
Dalam artian lain menyusutnya tanah dan menurunnya permukaan gambut. Pengetahuan laju subsiden sangat penting untuk perencanaan sistem drainase, pendugaan umur bahan organik tanah, serta penilaian penggunaan lahan gambut secara optimal dalam rangka memelihara kelestarian gambut (Andriesse, 1994).
Secara umum subsiden terjadi karena beberapa faktor antara lain tingkat kematangan gambut, tipe gambut, kecepatan dekomposisi, kepadatan dan ketebalan gambut, tinggi muka air tanah, tinggi muka air di saluran drainase, jarak dari saluran drainase serta penggunaan lahan (Pronger et al, 2014). Selanjutnya disebutkan, semakin lama lahan gambut dibuka dan digunakan maka subsiden yang terjadi akan semakin tinggi.
Salah satu bagian faktor penyebab subsiden yang tidak berkaitan langsung dengan gambutnya sendiri adalah tinggi muka air tanah. Berdasarkan hal tersebut maka penting untuk mengetahui lebih jauh hubungan antara tinggi muka air tanah dengan laju subsiden yang terjadi pada lahan gambut berkanal atau gambut yang dengan drainase.
1.2 Tujuan
Tujuan laporan pengolahan lahan gambut dan pasang surut ini, sebagai berikut:
- Mengetahui dan memahami karakter tipologi lahan gambut terdegradasi atau yang didrainase (berkanal).
- Memperkirakan jumlah emisi CO2 pada lahan gambut terdegradasi atau yang didrainase (berkanal).
- Memperkirakan laju subsiden pada lahan gambut yang didrainase (berkanal).
Baca juga: Sumber Karbon Hutan | Biomassa Hidup, Bahan Organik Mati, dan Bahan Organik Tanah
II. TELAAH MATERI
2.1 Emisi Karbon di Lahan Gambut
Lahan gambut merupakan salah satu agroekosistem lahan rawa yang banyak dimanfaatkan untuk pengembangan pertanian.Lahan gambut mempunyai simpanan karbon yang besar karena keseluruhan gambut dan tanaman yang tumbuh diatasnya merupakan karbon tersimpan.
Total karbon yang tersimpan di lahan gambut dunia diperkirakan sebesar 550 Giga ton (Joosten 2009). Gambut dapat berfungsi sebagai penyimpan (sink) karbon ataupun sebagai sumber (source) emisi karbon sedangkan tanaman merupakan carbon sink melalui proses sekuestrasi (sequestrationprocess).
Vegetasi yang tumbuh di atas tanah gambut dapat menambat karbon dioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan menambah simpanan karbon. Kehilangan karbon dapat juga terjadi dalam bentuk karbon organik terlarut (DOC, dissolved organic carbon).
Tanah gambut terdapat dua zona hidrologis yang memiliki karakteristik yang berbeda dan digambarkan sebagai "diplotelmik", yaitu zona akrotelmik dan katotelmik. Zona akrotelmik merupakan lapisan gambut yang secara hidrologis-aktif‖ atau sangat dipengaruhi oleh fluktuasi muka air tanah dimana batas kedalaman lapisan ini adalah muka air tanah terendah saat musim kemarau. Zona katotelmik merupakan lapisan gambut yang permanen jenuh air dan memungkinkan muka air tanah tetap tinggi meskipun tetap terjadi peningkatan lapisan katotelmik (Ivanov, 1981).
Kriteria hidrologis ini berguna untuk menganalisis proses akumulasi dan dekomposisi gambut (Belyea dan Malmer 2004; Clymo 1984). Perubahan zona hidrologis sangat mempengaruhi penyimpanan karbon dan tingkat emisi karbon dari tanah gambut. Emisi karbon pada tanah gambut dimulai dengan teroksidasinya gambut akibat penurunan muka air tanah dan dekomposisi bahan organik.
Emisi karbon dapat diketahui melalui dua pendekatan yaitu pengukuran konsentrasi gas karbon secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran konsentrasi gas karbon secara langsung yaitu dengan metode mikro-meteorologi (Eddy kovarians) dan sungkup tertutup (Grøndahl, 2006). Kedua metode tersebut berbeda dalam skala pengukuran dan tujuan yang ingin dicapai. Mikrometeorologi menggunakan menara yang digunakan untuk mengkarakterisasi fluks CO2 secara terus menerus pada tingkat lapangan (skala hektar) dan sangat tergantung pada kecepatan angin selama periode pengukuran.
Simpanan karbon dapat berubah jika ada aktivitas konversi hutan menjadi lahan penggunaan lain/lahan pertanian karena dilepaskannya karbon ke atmosfer melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen maupun pengangkutan hasil panen dan diikuti dengan hilangnya vegetasi. Dengan besarnya simpanan karbon yang terdapat di lahan gambut maka potensi lahan gambut untuk mengemisikan karbon ke udara sangat besar. Emisi karbon sangat berkaitan dengan laju dan proses dekomposisi. Faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi yaitu suhu, oksigen, kelembaban dan kandungan hara (Minkkinen et al. 2007; Moore dan Dalva 1997).
Setiarno (2020) Tipologi lahan yang berada di lahan pasang surut, terdiri dari:
- Lahan sulpat masam aktua, memiliki pH rendah (>3,5), horison sulfirik yang disebabkan teroksidasinya pirit yang terjadi akibat drainase yang berlebihan. Tipe luapan C/D. Lahan ini cocok untuk tanaman yaitu galam dan purun.
- Lahan sulpat masam potensial, memiliki pH rendah, terdapat pirit hingga kedalaman 100 cm. Tipe luapan A/B cocok untuk tanaman pangan atau tipe B/D cocok untuk tanaman hortikultura dan perkebunan.
- Lahan aluvial bersulfida dangkal bergambut, berupa tanah mineral yang memiliki pirit hingga kedalaman 50 cm dan kedalaman gambut 20-50 cm serta memiliki tipe luapan A.
- Lahan gambut dangkal, memiliki gambut dengan kedalaman 50-100 cm yang tingkat dekomposisi hemik-saprik. Memiliki subtratum liat yang mengandung pirit, terutama di rawa belakang dan sisi kubah gambut.
- Lahan gambut sedang, memiliki kedalaman gambut 101-200 cm, tingkat dekomposisi hemik dan sampai dengan saprik yang dijumpai pada sisi kubah gambut. Lazim memiliki tipe luapan C.
- Lahan gambut dalam, memiliki kedalaman gambut 201-300 cm dengan tingkat dekomposisi fibrik dan hemik, dijumpai pada kubah gambut.
- Gambut sangat dalam, memiliki kedalaman gambut >300 cm dengan tingkat dekomposisi fibrik sampai dengan hemik dan dijumpai pada kubah gambut. Lahan ini di drainasenya jelek sangat dalam.
2.2 Subsiden di Lahan Gambut
Subsiden tanah adalah pergerakan permukaan tanah ke bawah relatif terhadap datum atau titik tertentu. Subsiden tanah dapat diakibatkan oleh berbagai hal, seperti ekstraksi migas, penambangan mineral, ekstraksi air tanah, kelarutan batu kapur, gempa bumi, dan sebagainya. Subsidens lahan merupakan tantangan dalam pengelolaan jangka panjang perkebunan dan hutan tanaman di lahan gambut tropis. Seiring dengan waktu, subsidens lahan meningkatkan risiko banjir berkala serta terjadinya genangan, yang kemudian berpotensi menurunkan produktivitas.
Subsiden lahan terjadi karena adanya penyusutan gambut yang kering dan percepatan dekomposisi gambut yang disebabkan paparan oksigen. Oksidasi tersebut selanjutnya dapat menimbulkan emisi CO2 dari lahan gambut yang terdrainase. Praktek penggunaan lahan pada lahan gambut yang dibuka untuk pertanian dan perkebunan, umumnya mengalami subsiden (Nugroho, 2015).
Subsiden dapat melaju dengan kecepatan mencapai 50 cm pada dua tahun pertama setelah dilakukan drainase. Pada tahun berikutnya akan berlanjut dengan laju subsiden sekitar 2-6 cm pertahun tergantung tingkat kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase (Widyati, 2011). Beberapa data mengenai laju subsiden diantaranya: pada tanah gambut saprik laju subsiden 0,36 cm/bulan di Barambai Kalimantan Selatan selama 12-21 bulan setelah reklamasi; Gambut saprik yang di Talio Kalimantan Tengah laju subsidennya 0,178 cm/bulan, sedangkan pada gambut hemik laju subsidennya 0,9 cm per bulan (Widyati, 2011).
Subsiden terjadi karena proses pemadatan dan hilangnya masa gambut akibat kebakaran dan/atau proses dekomposisi bahan organik secara aerob yang dapat membebaskan CO2 ke udara dan merupakan fenomena umum yang ditemui pada lahan gambut yang telah dikonversi ke berbagai penggunaan lahan. Konversi hutan gambut menyebabkan perubahan siklus karbon dan mempunyai pengaruh terhadap fluks karbon global. Subsiden akan menimbulkan banyak kerugian bila berlangsung terus menerus. Akibat yang ditimbulkannya adalah tumbangnya pepohonan, karena akar sudah tidak mampu lagi menopang pohon.
Baca juga: Lahan Gambut | Pengertian, Karakteristik, Pembentukan, Klasifikasi, dan Peran
III. METODE PELAKSANAAN
3.1 Waktu Pelaksanaan
Praktikum pengolahan lahan gambut dan pasang surut dilaksanakan kurang lebih satu bulan di Mei 2020. Pemaparan materi praktikum dilaksanakan pada tanggal 6 Mei 2020 melalui forum online zoom.
3.2 Peralatan
Peralatan yang digunakan pada praktikum pengolahan lahan gambut dan pasang surut, yaitu kalkulator, laptop/komputer dan alat tulis.
3.3 Pengolahan Data
Pengolahan data untuk memprediksi jumlah emisi (E), menghitung dengan mengacu pada persamaan Hooijer, et al., (2006 dan 2010) yang dimodifikasi Agus, et al., (2012), yaitu:
E (ton CO2/ha.tahun) = 0,7 x 0,91 x kedalaman drainase (cm)
E = Emisi
Faktor 0,7 digunakan untuk memisahkan respirasi akar sekitar 30%.
Pengolahan data untuk memprediksi laju subsiden (S), menghitung dengan menggunakan persamaan Hooijer etal., (2012) dalam Lisnawati, Suprijo, Poedjirahayoe dan Musyafa (2015), yaitu:
S = 1,5 – 4,98 x WD
S = Laju subsiden (cm/th)
WD =Rerata kedalaman muka air tanah di bawah permukaan gambut (-m; negatif)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Estimasi Emisi Karbon
Ekosistem hutan gambut tropika merupakan penyimpanan karbon potensial, tetapi konversi lahan dan penebangan tidak lestari menyebabkan ekosistem ini juga menjadi sumber emisi ke atmosfer. Pengaruh perubahan penutupan lahan dan pembangunan drainase terhadap dinamika muka air, penurunan tanah dan kehilangan karbon masih belum banyak diketahui tipologi gambut pesisir dengan bentang lahan yang sempit.Hasil praktek pengolahan lahan gambut dan pasang surut untuk estimasi emisi karbon yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dibawah ini.
Tabel 1. Nilai Estimasi Emisi Karbon
Tabel 1 menjelaskan bahwa pada kedalaman drainase 82, 72, 62, 52, dan 42 cm memiliki estimasi nilai karbon masing-masing secara berurut, yaitu 52,234, 45,864, 39,494, 33,124, dan 26,754 CO2 ha/tahun. Berdasarkan estimasi nilai tersebut, dapat dikatakan bahwa semakin tinggi nilai kedalaman drainasenya maka akan semakin tinggi pula nilai estimasi emisi sehingga dapat diasumsikan bahwa semakin semakin dalam gambut akan semakin parah estimasi emisi CO2 yang dihasilkan. Hal ini terjadi akibat perubahan penutupan lahan dan pembuatan drainase mempengaruhi fungsi hidrologi lahan gambut dan meningkatkan intensitas kehilangan karbon ke atmosfer.
Dimana kehilangan karbon terikat erat dengan penurunan permukaan tanah, kedalaman muka air, dan intensitas drainase. Sehingga muka air tanah yang lebih dalam akan mempercepat proses dekomposisi dan meningkatkan emisi karbon. Kehilangan karbon dan perubahan kondisi biofisik yang terjadi menunjukkan pentingnya pengaturan muka air pada lahan gambut yang didrainase (Aswandi et al., 2016).
Mengacu pada Tabel 1 tersebut juga dapat dilihat bahwa perbedaan kedalaman masing masing memiliki selisih 10 cm secara konstan sementara untuk nilai estimasi emisi dapat dilihat juga bahwa bahwa nilainya akan semakin berkurang secara konstan sebesar 6,37 CO2 ha/tahun. Sehingga berdasarkan data dapat diasumsikan bahwa turun naiknya kedalaman drainase berpengaruh konstan terhadap nilai estimasi emisi CO2 di mana setiap penurunan kedalaman gambut sedalam 10 cm maka akan terjadi kenaikan estimasi emisi sebesar 6,37 CO2 ha/tahun begitupun sebaliknya.
Jika dilakukan perbandingan dengan nilai kedalaman gambut yang berkisar antara 42-82 cm dan kenaikan emisi sejumlah 6,37 CO2 ha/tahun dapat dilihat bahwa pernyataan ini masih sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh Hooijer et al (2006) yang menyatakan bahwa pada kedalaman saluran drainase 30-120 cm terjadi emisi CO2 meningkat 9,10 CO2 ha/tahun.
Sesuai dengan pernyataan sebelumnya bahwa semakin dalamnya gambut sedalam 10 cm maka terjadi kenaikan estimasi emisi sebesar 6,37 CO2 ha/tahun sehingga dapat dinyatakan bahwa terjadi emisi 0,637 CO2 ha/tahun tiap penurunan muka air tanah sedalam 1 cm. Hasil ini berbeda dibandingkan dengan nilai yang dikemukakan oleh Hoojier et al (2010) sebesar 0,91 CO2 ha/tahun setiap penurunan 1 cm permukaan air tanah atau penambahan kedalaman drainase.
Perbedaan ini dapat disebabkan oleh berbedanya sifat bahan asal gambut dan fluktuasi muka air tanahh serta dimasukkannya data emisi CO2 dari hasil kebakaran hutan atau proses kerusakan lainnya.
Tabel 1 menjelaskan bahwa kedalaman drainase yang diperoleh dengan rentang nilai 42-82 merupakan karaktek tipologi lahan gambut yaitu lahan aluvial bersulfida dangkal bergambut dan lahan gambut dangkal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setiarno (2020) mengatakan bahwa untuk lahan aluvial bersulfida dangkal bergambut dengan kedalamnya 2-50 cm dan lahan gambut dangkal dengan kedalaman 50-100 cm.
Kehilangan karbon memiliki korelasi positif terhadap laju subsiden, kedalaman muka air dan berbanding terbalik terhadap jarak dari saluran (Aswandi et al., 2016). Hal ini menjelaskan besarnya kehilangan karbon data lahan gambut dengan rata-rata 39,494 CO2 ha/tahun. Dimana tingkat emisi ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata emisi karbon pada lahan perkebunan kelapa sawit yang mengalami lahan terdegradasi yaitu 5,98-13,52 CO2 ha/tahun (Aswandi et al., 2016).
4.2 Prediksi Subsiden
Salah satu karakteristik biofisik lahan gambut adalah mengalami subsiden jika didrainase. Saluran drainase gambut yang semakin dalam akan menimbulkan banyaknya air yang keluar dari massa gambut, sehingga tanah gambut tersebut mengalami pematangan fisik (physical ripening) yang akhirnya mengakibatkan penyusutan tanah gambut (Hidayanti dan Riwandi, 2011).
Jadi dapat dikatakan bahwa semakin dalam saluran drainasenya, maka semakin besar laju subsiden yang terjadi, seperti pada hasil praktek pengolahan lahan gambut dan pasang surut untuk prediksi subsiden pada kawasan lahan gambut yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dibawah ini.
Tabel 2. Nilai Prediksi Laju Subsiden
Tabel 2 menjelaskan bahwa pada kedalaman drainase berturut dari 174, 164, 154, 144, 134, maka tinggi muka air tanah berturut 0,82, 072, 062, 052, dan 042 m memiliki nilai prediksi laju subsiden masing-masing secara berurut, yaitu 5,58, 5,09, 4,59, 4,09, dan 3,59 cm th-1. Berdasarkan itu, semakin tinggi nilai tinggi nilai WD (tinggi muka air tanah), maka semakin tinggi pula nilai prediksi laju subsidennya.
Hal ini didukung oleh pernyataan Aswandi et al., (2016) mengatakan bahwa laju subsiden berkolerasi negatif (r =0,538) terhadap jarak drainase, sehingga laju subsiden meningkat apabila mendekati saluran drainase dan sebaliknya, nilai koefisien determinasi menjadi lebih tinggi (R^2 =59,3) apabila bobot isi dipertimbangkan dalam pendugaan laju subsiden. Dimana ini berhubungan dengan adanya laju subsiden yang juga berkolerasi positif terhadap kedalaman muka air, artinya bahwa laju subsiden semakin tinggi pada muka air gambut semakin dalam.
Sesuai dengan pernyataan yang dikatakan oleh Hooijer, et al (2006) menyatakan bahwa subsiden rerata tahunan berkisar antara 1,5-7 cm/th sehingga kisaran angka subsiden 3,59-5,58 cm/th yang terdapat pada laporan ini masih termasuk dalam laju subsiden yang biasanya terjadi. Sementara untuk rata-rata laju subsiden laporan ini adalah 4,59 cm/th atau 0,459 mm/th dan ini sesuai dengan pernyataan Hooijer, et al (2006) yang menyatakan laju subsiden terjadi antara 0,05-3,0 mm/th. Selain itu rata-rata 4,59 menunjukkan bahwa laju subsiden yang terjadi berada pada fase II di mana laju subsiden diperlambat 0,5-<5 cm/thn karena pada fase ini lebih banyak ditentukan oleh oksidasi gambut.
Triadi et al., (2016) menyatakan bahwa laju subsiden tanah semakin kecil bila muka air tanah semakin tinggi karena gambut yang terendam air tidak mengalami oksidasi. Dalam hal ini ketinggian muka air tanah sangat tergantung pada jenis perlakuan yang diterapkan pada lahan tersebut. Seiring berjalannya waktu, kenaikan muka air tanah gambut akan menurunkan laju subsiden permukaan tanah gambut.
Laju subsiden muka air tanah, juga ditentukan oleh tindakan hidrologis yang dilakukan. Membandingkan kondisi gambut yang terdegradasi tanpa rehabilitasi, maka dengan adanya bendung menghasilan nilai laju subsiden yang lebih kecil. Namun bila diberi perlukaan kombinasi, yaitu dengan membuat bendung dan penghutanan kembali, maka nilai laju subsiden tanah akan semakin kecil. Dengan demikian tindakan tindakan hidrologis pembuatan bendung disertai penghutanan kembali sangat efektif untuk menekan laju subsiden di lahan gambut, khususnya yang telah terdegradasi.
V. PENUTUP
Kesimpulan praktek pengolahan lahan gambut dan pasang surut adalah:
- Karakter tipologi lahan gambut terdegradasi atau yang berkanal terdiri dari dua, yaitu lahan aluvial bersulfida dangkal bergambut dan lahan gambut dangkal.
- Rata-rata kedalaman drainase 62 cm menimbulkan emisi karbon pada lahan gambut yang terdegradasi dengan rata-rata 39,494 CO2 ha/tahun.
- Setiap penurunan 1 cm muka air tanah drainase per tahun dari 42 sampai 82 cm terjadi peningkatan emisi sebesar 0,37 CO2 ha/tahun.
- Rata-rata tinggi muka air tanah 0,62 m menimbulkan laju subsiden lahan gambut yang terdegradasi dengan rata-rata 4,59 cm/th.
Saran pada praktek pengolahan lahan gambut dan pasang surut ini adalah perlu dilakukan praktek lanjutan dalam menentukan hubungan emisi karbon dan laju subsiden terhadap sifat fisik-kimia lahan gambut yang terdegradasi.
Baca juga: Tahapan Pembentukan Gambut Tropika: Kuis PLGPS
DAFTAR PUSTAKA
Agus, F. 2007. Cadangan, Emisi, dan Konservasi Karbon Pada Lahan Gambut ; Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Indonesian Soil and Water Conservation Society.
Andriesse, J.P. 1994. Tropical Peats in South East Asia. Dept. of Agric. Res. of the Royal Trop. Inst. Comm. Amsterdam. 63 p.
Anshari GZ, Armiyasih. 2005. Carbon Decline from Peatlands and Its Implications on Livelihood Security of Local Communities. On Daniel Murdiyarso dan Hety.
Herawaty, Editor. Carbon Forestry : Who Will Benefits. Bogor: Center for International Forestry Research.
Aswandi et al. 2016. Kehilangan Karbon Akibat Drainase dan Degradasi Lahan Gambut Tropika di Trumon dan Singkil Aceh. UGM. Yogyakarta.
Belyea LR, Malmer N. 2004. Carbon sequestration in peatland: patterns and mechanisms of response to climate change. Global Change Biology, 10 : 1043-1052.
Clymo RS. 1984. The limits to peat bog growth. Philos. Trans. R. Soc. Lond. B, 303: 605–654.
Grøndahl L. 2006. Carbon dioxide exchange in the High Arctic-examples from terrestrial ecosystems. PhD thesis. Dept. of Arctic Environmental, NERI and Institute of Geography, University of Copenhagen. National Environmental Research Institute, Roskilde, Denmark. 210 pp. http://www.dmu.dk/Pub/PHD_LGR .Pdf.
Hidayanti, N. dan Riwandi. 2011. Laju Subsiden pada Sistem Drainase dan Pengapuran Tanah Gambut Fibrik dengan Pertanaman Jagung. UNIB. Bengkulu.
Hooijer A, M Silvius, H Wosten and S Page. 2006. Peat-CO2. Assessment of CO2 Emission from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulies Report Q3943.
Hooijer, A., S. Page, J.G. Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wösten, and J.
Jauhiainen. 2010. Current and future CO2 emission from drained peat lands in Southest Asia. Biogeosci. 7:1505-1514.
Ivanov KE. 1981. Water movement in Mirelands. [English translation by Thompson A and HAP Ingram]. Academic Press. London. 276 p.
Joosten H. 2009. The Global Peatland CO2 Picture. Peatland Status and Drainage Related Emissions in All Countries of the World. Wetlands International. www.wetlands.org.35p.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Inventarisasi Nasional Emisi dan Serapan Gas Rumah Kaca di Hutan dan Lahan Gambut Indonesia, Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS), Penerbit Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kampus Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi.Kurnain, A. 2012. Klasifikasi Kematangan Gambut Tropis Berdasarkan Sifat Rapat Optik. Prosiding Standarisasi. Jakarta.
Minkkinen K, Laine J, Shurpali NJ, Makiranta P, Alm J, Penttila T. 2007. Heterotrophic soil respiration in forestry-drained peatlands. Boreal Environment Research 12, 115-126.
Moore TR, Dalva M. 1997. Methane and carbon dioxide exchange potentials of peat soils in aerobic and anaerobic laboratory incubations. Soil Biol. Biochem., 29, 1157-1164
Nugroho K. 2015. Penurunan Permukaan Lahan Gambut (Presentasi Power Point). IPN Toolbox Tema C Sun Tema C6. www.Cifor.org/ipn.toolbox diakses tanggal 20 Januari 2016.
Pronger, J., L. A. Schipper, R. B. Hill, D. I. Campbell, and M. McLeod, 2014. Subsidence rates of drained agricultural peatlands in New Zealand and the relationship with time since drainage. Journal of Environmental Quality 43:1442‐1449.
Radjagukguk, B. 2000. Perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan 2: 1-15.
Setiarno. 2020. Materi Pengolahan Lahan Gambut dan Pasang Surut. [materi kuliah]. UPR. Palangka Raya.
Triadi, L. B. et al. 2016. Dampak Dinamika Muka Air Tanah pada Laju dan Waktu Subsiden Lahan Rawa Gambut Tropika. Badan Litbang PUPR. Banjarmasin.
Widyati, E. (2011). Kajian Optimasi Pengelolaan Lahan Gambut dan Isu Perubahan Iklim. Jurnal Tekno Hutan Tanaman, 4(2), 57-58.
Wosten, J. H. M., and H. P. Ritzema. 2001. Challenges in Land and Water Managemant for Peatland Development in Sarawak. Dalam J. O. Roeley dan S. E. Page.2001. (Eds). Peatland for People: Natural Resourches Functions and Sustainable Management. BPPT, Jakarta.
Lamboris Pane