24 Landasan Hukum dan Kebijakan dalam Hidrologi dan Pengelolaan DAS
Postingan ini diperbarui 03 November 2021
Hidrologi merupakan salah satu cabang ilmu geografi yang membahas tentang seputar pergerakan, distribusi, dan kualitas air yang ada dibumi serta siklus hidrologi dan sumber daya air.
Daerah Aliran Sungai atau DAS merupakan suatu daerah yang dibatasi oleh punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama.
Menurut para ahli, hukum merupakan seperangkat peraturan-peraturan yang tersusun secara baik serta teratur yang sifatnya mengikat hakim dan masyarakat yang mencerminkan dari hubungan hukum ekonomis suatu masyarakat dalam tahap perkembangan tertentu.
Menurut para ahli, kebijakan merupakan kumpulan tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku sekelompok pelaku supaya memecahkan suatu masalah tertentu.
Landasan hukum dan kebijakan dalam hidrologi dan pengelolaan DAS terdiri dari UU, peraturan pemerintah, peraturan daerah, dan peraturan menteri.
Berikut 24 Landasan Hukum dan Kebijakan dalam Hidrologi dan Pengelolaan DAS adalah.
Baca juga: Ringkasan tentang Contoh Rencana Pengelolaan DAS Katingan Terpadu
1. UU NOMOR:.41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN SEBAGAIMANA TELAH DIRUBAH DENGAN UU NO.19 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN
UU menyatakan bahwa dengan berlakunya UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi pemagang izin atau perjanjian sebelum berlakunya UU tersebut. Ketidakpastian tersebut terjadi, karena dalam ketentuan UU tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya tetap UU tersebut. Tidak adanya ketentuan tersebut mengakibatkan status dari izin atau perjanjian yang ada sebelum berlakunya UU tersebut menjadi tidak jelas dan bahkan dapat diartikan menjadi tidak berlaku lagi.
2. UU NOMOR: 17 TAHUN 2019 TENTANG SUMBER DAYA AIR
Undang-undang menyatakan secara tegas bahwa sumber daya air dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu, negara menjamin hak rakyat atas air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari bagi kehidupan yang sehat dan bersih dengan jumlah yang cukup, kualitas yang baik, aman, terjaga keberlangsungannya, dan terjangkau. Selain itu, negara memprioritaskan hak rakyat atas air untuk (1) kebutuhan pokok sehari-hari, (2) pertanian rakyat, (3) kebutuhan usaha guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari melalui sistem penyediaan air minum, (4) kegiatan bukan usaha untuk kepentingan publik, dan (5) kebutuhan usaha lain yang telah ditetapkan izinnya.
3. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 38 TAHUN 2011 TENTANG SUNGAI
Peraturan Pemerintah menjelaskan bahwa masyarakat sebagai pemanfaat sungai perlu diajak mengenali permasalahan, keterbatasan, dan manfaat pengelolaan sungai secara lengkap dan benar sehingga dapat tumbuh kesadaran untuk ikut berpartisipasi mengelola sungai. Keterlibatam partisipasi masyarakat yang paling nyata adalah gerakan peduli sungai dengan program perlindungan alur sungai dan pencegahan pencemaran sungai yang dilakukan oleh masyarakat. Dimana sungai sebagai wadah air mengalir berada di posisi paling rendah dalam lanskap bumi, sehingga kondisi sungai tidak dapat dipisahkan dari kondisi daerah aliran sungai. Dalam upaya memperbaiki dan menjaga keberlanjutan fungsi sungai banyak aspek yang terkait mencakup kegiatan yang amat luas di daerah aliran sungai. Lingkup peraturan pemerintah ini hanya mengatur substansi yang terkait dengan sungai dan danau paparan banjir yang merupakan bagian tak terpisahkan dari sungai.
4. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Peraturan Pemerintah menyatakan bahwa tujuan pengelolaan DAS untuk mewujudkan kesadaran, kemampuan, dan partisipasi aktif instansi terkait dan masyarakat dalam pengelolaan DAS yang lebih baik, mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan, mewujudkan kuantitas, kualitas dan keberlanjutan ketersediaan air yang oprimal menurut ruang dan waktu dan mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diharapkan tercapai seiring dengan terwujudnya kondisi lahan yang produktif serta kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air yang baik, kondisi sosial ekonomi yang kondusif dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang optimal. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi antar sektor dan antar wilayah administrasi, serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan DAS.
5. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 60/ Menhut-II/2014 TENTANG KRITERIA PENETAPAN KLASIFIKASI DAERAH ALIRAN SUNGAI
Peraturan Menteri Kehutanan menyatakan bahwa maskud ditetapkannya kriteria untuk klasifikasi DAS tersebut adalah diperolehnya arahan atau acuan bagi kementerian kehutanan serta instansi terkait untuk menilai dan menyusun klasifikasi daerah aliran sungai dalam rangka penetapan Daerah Aliran Sungai yang dipertahankan dan dipulihkan daya dukungnya. Adapun tujuannya adalah diperolehnya klasifikasi DAS-DAS di Indonesia sebagai basis penentuan kebijakan dan penyelenggaraan pengelolaan DAS. Dimana kriteria dan sub kriteria dalam penerapannya memerlukan parameter-parameter yang harus dihitung melalui hasilnya dikualifikasikan dalam beberap kelas, dan di masing-masing kelas diberi skor yang mencerminkan kualifikasi indikator, yaitu dari sangat rendah hingga sangat tinggi.
6. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.59/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENETAPAN BATAS DAERAH ALIRAN SUNGAI
Peraturan Menteri Kehutanan menyatakan bahwa tujuan penetapan batas DAS adalah untuk memberikan acuan kepada semua pihak dalam rangka memahami teknik penyusunan batas DAS dan agar tersusunnya batas DAS yang akurat, terkini, dan sesuai dengan teknologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dimana penyiapan bahan terdiri dari (1) perangkat keras berupa komputer paling rendah dengan prosesor memori 1 GB, dan kapasitas hard disk 80 GB, dengan sistem operasi yang sesuai, (2) perangkat lunak berupa aplikasi untuk memproses data sistem informasi geografis dan pemroresan citra satelit, (3) citra satelit optik atau radar, (4) Digital Terrain Model (DTM), (5) peta dasar berupa peta rupa bumi Indonesia skala 1:250.000 dan 1:50.000, dan (6) peta tematik berupa Peta Dasar Tematik Kehutanan (PDTK).
7. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 3/V-SET/2013 TENTANG PEDOMAN IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK DAERAH ALIRAN SUNGAI
Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial menyatakan bahwa sebagai langkah awal di dalam pengelolaan DAS maka perlu terlebih dahulu diketahui karakteristik dari DAS tersebut. Secara etimologis, istilah karakteristik diambil dari bahasa Inggris yakni characteristic, yang artinya mengandung sifat khas. Ia mengungkapkan sifat-sifat khas dari sesuatu. Jadi yang dimaksud dengan karakteristik DAS adalah suatu sifat yang khas, yang melekat pada DAS tersebut. Karakteristik DAS terbagi dalam dua bagian, yaitu karakteristik statis dan dinamis. Karakteristik statis merupakan variabel dasar yang tidak mudah berubah dan akan sangat menentukan proses hidrologi yang terjdai pada DAS tersebut. Dalam hal ini karakteristik DAS meliputi variabel morfologi dan morfometri DAS. Selain itu terdapat pula karakteristik DAS yang bersifat dinamik, yaitu variabel yang akan mempengaruhi percepatan perubahan kondisi hidrologi di dalam DAS. Variabel yang termasuk dalam karakteristik dinamis DAS adalah meterologi atau klimatologi, penutupan atau penggunaan lahan, kondisi sosekbud masyarakat di dalam DAS, dan kondisi kelembagaan pengelola DAS.
8. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: P. 39/Menhut-II/2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan bahwa pedoman penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu ini dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi stakeholders dalam menyusun rencana pengelolaan DAS terpadu dalam satuan wilayah perencanaan Dearah Aliran Sungai (DAS), Satuan Wilayah Pengelolaan DAS (SWP DAS), atau wilayah pulau-pulau kecil. Tujuan disusunnya pedoman ini adalah tersusunnya rencana pengelolaan DAS terpadu di DAS-DAS prioritas yang memnuhi standar. Rencana tersebut diharapkan dapat menjadi panduan, masukan atau pertimbangan bagi apra pemangku kepentingan dalam menyusun rencana teknis yang lebih detail. Dengan tersusunnya rencana pengelolaan DAS terpadu diharapkan pengelolaan sumberdaya alam di DAS dapat berjalan dlebih baik. Sehingga pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumberdaya yang menyangkut berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda-beda sehingga keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak pihak, tidak semata-mata oleh pelaksana langsung di lapangan tetapu oleh pihak-pihak yang berperan dari tahapan perencanaan, monitoring sampai evaluasinya.
9. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan bahwa tata cara penyusunan dan penetapan rencana pengelolaan DAS dimaksudkan untuk memberikan arahan bagi stakeholders dalam menyusun dan menetapkan rencana pengelolaan DAS dalam satuan wilayah perencanaan DAS. Tujuannya adalah tersusunnya rencana pengelolaan DAS sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan, baik untuk DAS yang dipulihkan maupun DAS yang dipertahankan daya dukungnya. Dimana penyusunan dan penetapan rencana pengelolaan DAS dilaksanakan sesuai prinsip dasar, yaitu (1) dilaksanakan secara utuh dari hulu, tengah sampai dengan hilir, (2) dilaksanakan secara terpadu sebagai satu kesatuan ekosistem, satu rencana dan satu sistem pengelolaan, (3) melibatkan para pemangku kepentingan, terkoordinasi, menyeluruh dan berkelanjutan, (4) adaptif terhadap perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dinamis dan karakteristik DAS, (5) pembagian tugas, fungsi, beban biaya dan manfaat antar para pemangku kepentingan secara adil, (6) akuntabel dan transparan, dan (7) melibatkan multi disiplin ilmu.
10. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 2/V-SET/2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PEMANFAATAN MODEL HIDROLOGI DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial menyatakan bahwa petunjuk teknis pemanfaatan model hidrologi dalam pengelolaan DAS dimaskudkan untuk menyediakan panduan teknis guna mengoperasikan medel hidrologi SWAT dalam pengelolaan DAS. Sedangkan tujuannya adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan DAS dengan alat bantu model hidrologi SWAT. Sehingga operasional pemanfaatan model hidrologi SWAT perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu: (1) tidak dapat dioperasikan dengan baik dalam DAS yang mengalami kebocoran aliran keluar maupun masukan ke dalam DAS yang diuji, (2) akan menjadi lebih rinci apabila di dalam DAS terdapat bangunan waduk atau bendungan, dan menjadi kompleks apabila dalam DAS terdapat bendung sadap untuk irigasi atau pengunaan lainnya, dan (3) tidak efektif atau bahan tidak dapat dioperasikan dalam DAS yang memiliki batuan induk kapur (karst) atau DAS yang memiliki areal dominan gambut serta rawa.
11. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 61 /Menhut-II/2014 TENTANG MONITORING DAN EVALUASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan bahwa pedoman yang dimaksudkan untuk memberikan arahan dan acuan bagi para pelaksana dalam monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS. Sedang tujuannya adalah pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS dapat dilakukan secara efektif dan efesien untuk mendapatkan informasi kinerja suatu DAS yang dapat digunakan sebagai dasar perencanaan pengelolaan DAS. Dimana ruang lingkup kegiatan monitoring dan evaluasi pengelolaan DAS mencakup, (1) monitoring dan evaluasi lahan, lahan kritis, penutupan vegetasi, dan indeks erosi, (2) monitoring dan evaluasi kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, koefisien regim aliran, koefisien aliran tahunan, muatan sedimen, banjir, dan indeks penggunaan air, (3) monitoring dan evaluasi sosial ekonomi, tekanan penduduk, tingkat kesejahteraan, keberadaan dan penegakan hukum, (4) monitoring dan evaluasi investasi bangunan, keberadaan dan status kota dan nilai investasi bangunan air dan (5) monitoring dan evaluasi pemanfaatan pemanfaatan ruang wilayah, kondisi kawasan lindung dan kondisi kawasan budidaya.
12. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.61/Menhut-II/2013 TENTANG FORUM KOORDINASI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan penyusunan peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan arahan umum dalam pembentukan forum baik di tingkat Nasional, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Forum bertujuan memberikan arahan yang efektif sebagai bagian dari pengembangan kelembagaan dalam pengelolaan DAS dari hulu ke hilir secara utuh. Pembentukan forum dilaksanakan atas dasar kesadaran dan kebutuhan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam pengelolaan DAS.
13. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.17/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan upaya pengembangan masyarakat melalui dan lingkungannya secara melalui pemberian sumberdaya, kesempatan dalam pengambilan keputusan, serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat. Dimana tata cara pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS. Tujuannya agar diperoleh kesamaan pemahaman sehingga pemberdayaan masyarakt dalam pengelolaan DAS dapat terselenggara secara sinergis dan berkesinambungan. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, pendampingan, pemberian bantuan modal, sosialisasi, diseminasi, penyediaan sarana dan prasarana, pemberian bantuan teknis, dan pemberian akses.
14. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 5/V-SET/2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS SISTEM INFORMASI ELEKTRONIK DAERAH ALIRAN SUNGAI (e-DAS)
Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial menyatakan bahwa sebuah sistem informasi yang lebih flexible dengan informasi yang mudah di-update dan tanpa tergantung dengan aplikasi lain, sistem ini kemudian diberi nama e-DAS (Elektronik DAS), dimana sistem informasi ini memiliki fungsi, (1) sistem mengumpulkan dan menampilkan informasi karakteristik DAS yang dikelola oleh BPDAS, (2) sistem menampilkan data spasial hasil GIS/SIMDAS sehingga updatable, (3) sistem informasi yang stand alone, tidak tergantung dan dijalankan software lain, (4) sebagai alat monitoring program, dan (5) sebagai alat perencanaan program secara cepat dan umum (tidak detil). Sehingga tujuan disusunnya petunjuk teknis ini adalah tersosialisasikannya DAS secara lebih intensif, tersebarnya data dan informasi serta kegiatan yang telah dilakukan oleh Ditjen BPDASPS melalui balai pengelolaan DAS kepada publik dan para multi pihak, sehingga tercipta kesamaan pemahaman mengenai DAS serta memudahkan para pengambil kebijakan dalam menyusun perencanaan pengelolaan DAS yang terpadu.
15. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P.4/V-SET/2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN DATA SPASIAL LAHAN KRITIS
Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial menyatakan bahwa analisis terhadap beberapa parameter penentu lahan kritis menghasilkan data spasial lahan kritis terdiri dari parameter penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat baha ya erosi, produktivitas, dan manajemen. Dimana untuk menysusun perencanaan program rehabilitasi hutan dan lahan yang baik, maka diperlukan data lahan kritis yang akurat. Metodologi yang tepat untuk mengidentifikasi lahan kritis sangat penting untuk mendapatkan peta dan data lahan kritis yang akurat. Sehingga hasil identifikasi peta dan data lahan kritis dijadikan acuan bagi para pengambil kebijakan dalam melakukan program RHL dan meningkatkan daya dukung DAS.
16. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P.1/V-SET/2013 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
Peraturan Diraktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial menyatakan bahwa petunjuk teknis kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan ini dimaksudkan untuk memberikan arahan teknis kepada semua pihak dalam menyelenggarakan kegiatan RHL sehingga kegiatan dapat terlaksana dengan baik. Tujuannya adalah pulihnya daya dukung DAS dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga ruang lingkup peraturan ini meliputi, penyusunan rancangan kegiatan, penyediaan bibit, reboisasi, penghijauan, rehablilitasi hutan dan lahan daerah pesisir, RHL di kawasan bergambut, konservasi tanah dan air, tata cara evaluasi RHL, serta penghapusan tanaman gagal atau rusak.
17. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI
Peraturan Menteri Kehutanan RI bahwa pedoman penanaman bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai ini dimaksudkan untuk memberikan acuan bagi (1) pemegang persetujuan prinsip dan pemegang IPPKH pada provinsi yang luas kawasan hutannya lebih dari 30% dari luas DAS, pulau dan provinsi, (2) pemerintah, pemerintah provinsi, pemrintah kabupaten atau kota, dan (3) para pihak lainnya dalam pelaksanaan penanaman rehabilitasi DAS. Tujuan disusunnya pedoman ini adalah tersedianya lokasi penanaman untuk pemegang persetujuan prinsip dan pemegang IPPKH, terwujudnya pelaksanaan penanaman oleh pemegang IPPKH sehingga hasil penanaman dapat berfungsi untuk memulihkan mempertahankan dan meningkatkan fungsi daerah aliran sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan perenananya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
18. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.4/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan bahwa pedoman reklamasi hutan dimaksudkan memberikan acuan bagi pelaksana dalam melakukan kegiatan reklamasi hutan pad areal bekas penggunaan kawasan hutan. Pedomana reklamasi hutan bertujuan agar pelaksanaan reklamasi hutan dapat dilakukan sesuai dengan pola umum, standar dan kriteria dalam rangka memulihkan hutan agar kembali berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya. Sehingga ruang lingkup pedoman reklamasi hutan meliputi, inventarisasi lokasi, penetapan lokasi, perencanaan, pelaksanaan, kelembagaan, pemantuan dan pembinaan teknis, mekanisme pelaporan pelaksanaan reklamasi hutan, dan saksi.
19. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.39/MENHUT-II/2010 TENTANG POLA UMUM, KRITERIA, DAN STANDAR REHABILITASI DAN REKLAMASI HUTAN
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan bahwa maksud pola umum memberikan kerangka dasar dalam penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan, serta reklamasi hutan yang memuat prinsip dan pendekatan. Tujuan pola umum agar diperoleh landasan bersama mengenai pendekatan dasar, prinsip-prinsip, pola penyelenggaraan dan mekanisme pengedalian pelaksanaan, agar diperoleh hasil dan dampak yang efektif sesuai dengan tujuan rehabilitasi dan reklamsi hutan. Maksud kriteria dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan memberikan acuan dan ukuran sebagai patokan yang dipergunakan sebagai dasar dalam penyelenggaraan rehabilitas dan reklamasi hutan. Tujuan kriteria dan standar rehabilitasi dan reklamasi memberikan pedoman dan rambu-rambu dalam penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan.
20. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P.38/Menhut-V/2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TAHUNAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan bahwa penyusunan RTnRHL dimaksudkan agar rencana atau usulan kegiatan RHL pada setiap tahun dapat disajikan lebih lengkap dan akurat sehingga program RHL dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. RTnRHL disusun dengan tujuan agar pelaksaan RHL tahunan dapat dilaksanakan secara tepat, mantap dan terarah serta memudahkan pihak-pihak terkait dalam mengalokasikan penganggaran untuk kegiatan RHL. Dimana RTnRHL memuat rancangan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, detil lokasi dan volume kegiatan fisik, kebutuhan biaya, tata waktu, kelembagaan, pembinaan, pelatihan, pendampingan, penyuluhan, pemantuan, dan evaluasi.
21. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.37/MENHUT-V/2010 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan bahwa tata cara penyusunan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan maksudnya adalah memberikan arahan bagi pihak yang berkompeten dalam penyusunan rencana pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan, menyediakan suatu rencana pengelolaan untuk mengelola pelaksanaan kegiatan RHL yang didasarkan kepada RTkRHL DAS, pengeloaan hutan dan potensi sumberdaya pada setiap wilayah kabupaten atau kota dan kawasan hutan. Tujuan dari pedoman agar proses penyusunannya berjalan dengan baik dan dokumen RPRHL yang disusun dapat diimplementasikan sesuai dengan kondisi lokai atau wilayah cakupan dan agar rehabilitasi hutan dan lahan dapat dilaksanakan secara tepat dan memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan dalam pemulihan dan lahan, pengendalian erosi, abrasi, dan sedimentasi, pengembangan sumberdaya air, dan pengembangan kelembagaan.
22. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 32/MENHUT-II/2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA TEKNIK REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (RTkRHL-DAS)
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan bahwa dalam rehabilitasi hutan dan lahan kawasan bergambut digunakan landasan berpikir yaitu: (1) Rehabilitasi kawasan bergambut berfungsi lindung dan budi daya merupakan bagian dari pengelolaan ekosistem kawasan bergambut yang ditempatkan pada kerangka DAS sebagai unit manajemen. (2) Rehabilitasi kawasan bergambut berfungsi lindung dan budi daya ditujukan untuk memulihkan sumberdaya kawasan bergambut yang kritis sehingga berfungsi lindung oprimal dalam memberikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial kepada seluruh pihak yang berkepentingan, mengelola sumber daya air, dan mengembangkan kelembagaan yang berbasis sumberdaya kawasan bergambut. (3) Rehabilitasi kawasan bergambut berfungsi lindung dan budi daya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan kecuali cagar alam dan zone inti taman nasional dan di luar kawasan hutan pada kawasan pertanian atau perkebunan, pemukiman dan peruntukan lain yang diselenggarakan melalui kegiatan pembuatan tanaman, pemeliharaan tanaman, pengkayaan tanaman dan kegiatan sipil teknis. (4) Kriteria kawasan bergambut yang berfungsi lindung adalah kawasan bergambut dengan ketebalan gambut 3 meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa, sedangkan kawasan bergambut yang berfungsi budi daya adalah kawasan bergambut dengan ketebalan gambut dari 3 meter. Dan (5) ekosistem kawasan bergambut memiliki sifat khusus, yaitu kandungan hara yang sangat rendah dan tingkat keasaman tinggi, sering tergenang atau kebanjiran pada musim penghujan dan terbakar pada musim kamarau serta aksesbilitas ke lahan untuk rehabilitas sangat sulit merupakan faktor kendala yang berat dalam kegiatan RHL di kawasan bergambut, sehingga diperlukan tahapan dan metode rehabilitas yang tepat.
23. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN, KEGIATAN PENDUKUNG DAN PEMBERIAN INSENTIF KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
Peraturan Menteri Kehutanan RI menyatakan bahwa tata cara pelaksanaan, kegiatan pendukung, dan pemberian insentif rehabilitasi hutan dan lahan ini dimaksudkan untuk memberikan acuan kepada semua pihak dalam menyelenggarakan kegiatan RHL sehingga pelaksanaan kegiatan RHL dapat terlaksana dengan baik. Tujuannya adalah pulihnya daya dukung DAS dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Dimana ruang lingkupnya meliputi tata cara pelaksanaan RHL, kegiatan pendukung RHL, dan pemberian intensif RHL.
24. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.49/MenLHK/Setjen/Das.2/5/2016 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN KEBUN BIBIT RAKYAT
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI menyatakan bahwa bibit KBR digunakan untuk kegiatan (1) hutan rakyat, (2) penghijauan lingkungan pada fasilitas umum dan fasilitas sosial (ruang terbuka, kampus, perkantoran, rumah, ibadah, pertokaan, pasar, dan lain-lain), (3) rehabilitasi mangrove, dan (4) penanaman di kawasan hutan yang telah diarahkan sebagai areal kerja hutan kemasyrakatan (Hkm) atau Hutan Desa (HD) atau yang telah memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakat (IUPHkm) dan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) atau areal pemberdayaan masyarakat lainnya.
Baca juga: 2 Alat Ukur Evaporasi (Hidrologi dan Pengelolaan DAS)
Lamboris Pane